February 23, 2009

Surat Dari Gaza “Tidak Ada Teroris di Gaza”

Surat Dari Gaza “Tidak Ada Teroris di Gaza”

Oleh: Sunaryo Adhiatmoko (GAZA)

Ini hari ketujuh, saya berbaur dengan warga korban agresi Israel di Gaza, (2 Februari 2009). Satu hari saya di Rafah, enam hari sampai sekarang saya bertahan di Jabalia Gaza Utara.

Saya melihat Gaza masih utuh, yakni semangat juang rakyat dan cara bertahannya. Gaza masih kukuh, meski blokade Israel makin menggila.

Meski spirit warga Gaza terus membara, secara fisik Gaza porak poranda. Permukiman penduduk, sekolah, masjid, dan pusat pemerintahan hancur total. Kerusakan ter hebat dialami di Rafah, Khanyounis, Bayt Lahia, Bayt Hanun, dan Jabalia.

Tetapi roda pemerintahan berderak tak terbendung. Pemerintahan resmi Hamas, tetap menjalankan perannya dengan baik. Tanpa kantor, aparat kepolisian dan keamanan tetap beroperasi. Di Rafah misalnya, meski kantor polisi dihancurkan rudal dan bom Israel, mereka tetap berkantor di jalanan dengan absensi selembar kertas. Bahkan mereka sempat menangkap lima orang pengedar narkotika dari Mesir dan Israel.

Gaza City, ibukota Gaza, oase lain di tengah reruntuhan bangunan dan gedung di Gaza. Pusat kota Gaza ini masih utuh. Gedung-gedung yang punya konstruksi bangunan ter kokoh di Arab -mungkin - masih angkuh menatap lepas laut Mediterranean. Bank dan fasilitas publik lainnya masih berjalan baik. Kemacetan lalulintas juga pandangan hari-hari, seakan mengatakan “Kami masih utuh wahai Israel!”.

Biaya hidup di Gaza tinggi. Nilai $ US 1 sama dengan 3,8 Shekel - mata uang Israel. Transaksi hari-hari rakyat Palestina memakai mata uang Israel. Hotel dengan tarif terendah mencapai $ US 100. Pasca perang, biaya hidup di Gaza naik lebih dari 300 persen.

Setelah tanggal 5 Februari nanti, pintu perbatasan Rafah melalui Mesir akan ditutup. Saya dan orang asing lainnya, diminta Kementerian Luar Negeri Mesir, untuk keluar Gaza sebelum tanggal 5.

Ini seperti mimpi buruk. Selanjutnya, perbatasan yang akan dibuka melalui Israel di Karem Abu Salom dan El Auda. Saya membayangkan, jika pintu masuk Gaza melalui Israel, sama halnya dengan mengisolasi total warga Gaza dari dunia luar. Hati saya terus bertanya, mungkinkah suplai kebutuhan hidup melalui terowongan di Rafah mampu menghidupi 2,5 juta lebih penduduk Gaza? Pun, juga heran, bagaimana mungkin pasca gempuran yang demikian hebat, semua jenis kendaraan di Gaza masih beroperasi secara baik. Dari mana suplai bahan bakarnya? Makin memahami kehidupan Gaza rasanya rumit dan tak masuk akal.

Rasanya adil, jika akhirnya Hamas memproklamirkan kemenangannya. Karena Gaza bisa berdenyut lebih cepat dan makin kuat. Bahkan Hamas juga masih mampu melempar roket ke Israel, tiap kali Israel memancing keruh dengan melempar rudal nya ke Rafah, Khanyounis, dan Jabalia. Dalam catatan saya, Hamas hampir tak pernah melempar roket lebih dulu. Biasanya, jika Israel melempar rudal lebih dulu, Hamas baru membalasnya dengan dua sampai tiga roket. Mereka juga ingin menjelaskan, bahwa Hamas masih kokoh sebagai kekuatan militer di Gaza.

Di Gaza, saya berpetualang menjumpai para korban agresi Israel. Saya merekam cukup baik apa suara mereka. Dari anak-anak sampai orang tua. Dalam catatan saya, delapan dari sepuluh anak laki-laki di Gaza bercita-cita jadi anggota Brigadir Al-Qosam. Sisanya ingin jadi guru dan pekerja sosial. Sedangkan tujuh dari sepuluh anak perempuan di Gaza, ingin jadi dokter.

Mereka ingin mengobati para mujahidin yang terluka, jika Israel menyerang tanah mereka. Dari setiap anak yang saya ajak berbincang, mereka punya suara kejujuran yang tulus tentang perdamaian. “Kami mencintai perdamaian dengan siapa pun. Tetapi jika tanah kami dijajah dan orang tua kami dibunuh, kami akan melawan dengan maupun tanpa Hamas”, kata Fatimah Atlas (13), di reruntuhan puing bekas rumahnya, Bait Lahia. Murid kelas dua Madrasah itu, ayahnya lumpuh oleh senjata Israel. Dia terkurung tujuh hari di sekolahnya, saat Israel menyerang. Ada 10 temannya yang syahid di sekolah, saat itu terkena ledakan bom.

Untuk menghemat biaya hidup, saya tinggal di rumah-rumah penduduk. Mereka sangat cinta orang Indonesia. Di sepanjang jalan saya lewati, setiap mulut berucap, “Ahlan wa sahlan Indonesia!” . Di masjid-masjid tempat saya shalat, para jamaah selalu mengerumuni saya. Nafas rasanya sesak, karena seringnya dipeluk. Para imam masjid saling berebut ingin menjamu saya dan menginap di rumahnya.

Keluarga di Gaza hidup dalam kesahajaan. Tetapi untuk menjamu tamu, mereka rela mengorbankan makanan terbaiknya. Kadang, saya belanja roti di warung pinggir jalan, tapi karena tahu saya orang Indonesia, mereka tidak mau menerima uang saya. Bahkan saya diajak masuk rumah mereka dan dijamu makan. Ingin menolak, tapi postur tubuh mereka yang tinggi, membuat saya tak berdaya mengelak. Lengan saya yang kecil ditarik paksa masuk rumah.

Teman-teman saya di Jakarta tahu, saya tidak doyan roti. Tapi di Gaza dengan lidah dan mulut yang terus berontak, saya paksakan untuk menelan roti itu. Ironisnya, porsi yang mereka suguhkan sama dengan porsi yang mereka makan. Repot tapi mengharukan.

Tidak hanya merekam kehidupan anak-anak dan keluarga di Gaza. Saya juga dijamu Brigadier Al-Qosam, sayap militer Hamas yang kerap membuat Israel kerepotan dan stres. Suatu malam, saya diajak patroli mengunjungi markas dan tempat penjagaan mereka di perbatasan Gaza - Israel di daerah Jabaliah. Jarak ke Israel tak kurang dari 1 km.

Mereka menyambut kami ramah. Muka mereka ditutup sarung kepala hitam, hanya tampak mulut dan matanya. Setiap prajurit menenteng senjata AK 47. Beberapa di antaranya memegang roket anti tank buatan Rusia. Sebagian roket modifikasi buatan sendiri yang diberi nama Yasin. Menukil nama almarhum Syekh Ahmad Yasin yang dibunuh Israel.

Satu malam saya bersama mereka. Jalan kaki memutari perbatasan Jabaliah. Bau badan mereka harum, nafas yang mereka keluarkan tiap bercakap juga harum. Tidak saya temui, nafas prajurit al-Qosam bau jengkol. Telapak tangannya kekar dan kuat. Suaranya lembut dan santun. Saya tidak dapat mengenali siapa mereka. Tapi, beberapa di antaranya sepertinya saya tidak asing. Pernah berjumpa pada siang sebelumnya.

Saya mencoba mengingat siapa yang saya salami malam itu. Esok hari saya berjumpa anak-anak muda yang berpakaian rapi di masjid-masjid. Beberapa saya merasakan seperti sebagian dari orang yang saya jumpai semalam. Benar saja, sebagian mereka mengaku. Melihat gelagat nya, sulit menebak jika anak-anak muda yang gagah, rapi, santun, dan kalem ini adalah pejuang Al-Qosam yang garang di medan laga.

Tak lupa, mereka juga mengajak saya ke rumah para mujahidin yang luka. Mereka ada yang terluka di kepala, hancur tangan, kaki, dan tubuh yang tidak utuh. Ajaib nya, luka-luka mereka cepat sekali pulih. Menurut seorang dokter di Gaza, suhu dingin di Gaza bagian dari sebab kenapa luka-luka itu cepat sembuh. Seorang mujahidin ada yang empat kali terjun ke medan tempur, dan empat kali juga tubuhnya terluka. Tapi tidak ciut, dia ingin menjadi mujahidin sampai syahid menjemput.

Saat ini di Indonesia, banyak foto-foto calon legislatif dan calon presiden. Tapi di Gaza tak kalah banyak foto-foto terpampang di jalan-jalan dan gang-gang. Tapi bukan foto caleg. Foto-foto yang dipajang di Gaza adalah foto-foto para mujahidin yang syahid. Mereka menjadi idola dan bintang bagi masyarakat Palestina umumnya. Mereka para syahid yang dihormati, karena membela tanah Gaza secuil yang ingin direbut Israel.

Di Gaza, saya merasakan hukum al-Quran diamalkan. Ini tercermin dari tingkah laku dan kehidupan masyarakat Gaza. Masjid-masjid penuh tiap shalat lima waktu. Rasanya saya ingin tinggal lama di tanah para mujahidin ini. Tapi, saya harus kembali membawa kabar pada dunia, bahwa tidak ada teroris di Palestina. Semua warga Gaza mencintai Hamas. Ia, pemerintahan dan kekuatan militer yang syah di Palestina. Hamas memenangi pemilu secara demokratis. Dan Hamas dicintai secara total oleh rakyat. Anak-anak di Gaza dan Palestina kini makin membumi, mencintai perlawanan dan selalu mengidolakan para mujahidin yang syahid.

Ini, catatan hari ke-7 saya di Gaza. Sebelum akhirnya saya meninggalkan tanah Mujahidin itu pada 5 Februari 2009, atas permintaan Mesir. Setelah itu, pintu masuk Gaza melalui Rafah ditutup.

February 19, 2009

Ketika mereka ada .... disisi kita .... untuk kita ....

Para ibu, umi, bunda dan saudariku yang shalihah…

Ketika sepasang suami istri memulai sebuah perkenalan ( ta’aruf ), dilanjutkan khitbah dan pernikahan mereka dengan cara yang ma’ruf, yakni dengan harapan untuk lebih mendekatkan diri kepada Rabbnya semata, maka ketika itulah sebenarnya pasangan tersebut sudah mulai menentukan potensi spiritual calon anak-anak mereka untuk cenderung kepada fithrahNya. Pendidikan pada diri seorang anak sesungguhnya telah dimulai jauh sebelum sang anak memiliki tubuh dan kesadaran manusiawinya.

Potensi ini akan terus berlanjut saat seorang anak terbentuk dalam kandungan. Ketika setetes mani telah tertanam dalam rahim seorang ibu, menjadi segumpal darah, segumpal daging, tulang belulang kemudian terbungkus kembali dengan daging, hingga terbentuklah tubuh yang telah ditiupkan ruh kepadanya.

Dalam masa ini, pada umumnya seorang ibu akan merasakan perubahan pada dirinya, dari mulai menurunnya ketahanan fisik hingga psikisnya. Namun jika seorang ibu mampu memerangi dirinya untuk senantiasa menjaga kesehatan fisik, stabilitas emosi serta tidak menjadikan kondisi kehamilannya sebagai alasan untuk menuruti setiap keinginannya, maka sesungguhnya ia sudah pula membentuk karakter dasar tangguh pada sang calon anaknya. Begitu pula sebaliknya. Karakter dasar ini, jika terus menerus dibina hingga dewasa, akan amat menentukan bagi mampu tidaknya sang anak memerangi dan menundukkan hawa nafsunya sendiri.

Dua tahun pertama dalam kehidupan sang bayi adalah saat-saat ketika ia diperkenalkan kepada sifat Allah Yang Maha Pengasih. Dalam fase ini pun cara untuk mendidik seorang bayi adalah dengan mulai mengetahui tugas perkembangan fisiologisnya, mengenali bagian-bagian tubuh, cara memfungsikannya, serta memahami keberadaan orang-orang disekitarnya tentunya dengan cara penuh kelembutan.

Jika pun seorang bayi melakukan kesalahan, maka belumlah bisa ia disalahkan, seperti sifat Maha Pengasih dan Maha Pemurah Allah yang tidak memandang kesalahan sebagai faktor yang akan menghapus karunia untuknya ( karena orang-orang yang memiliki dosa pun tetap dikaruniai makanan, minuman dan tentunya kesempatan untuk memperbaiki diri ).

Rasa inilah yang akan cenderung mengembangkan sifat yang optimis dan positif, serta akan memudahkannya untuk menjadi seorang yang senantiasa hidup dengan penuh prasangka baik terhadap Allah beserta alam ciptaanNYa.

(bersambung – Insya Allah.red )

( untuk seorang bunda shalihah….selamat berjuang membentuk kader-kader militan untuk da’wah Islam….)

February 18, 2009

Biarkan Cinta Menyapa

Setelah mengelana jauh mengusung risalah, marilah sejenak meng-upgrade cinta agar selalu hadir menghiasi rumah tangga kita. Cinta akan menajdi ruh yang menggelorakan jiwa. Cinta pula yang menggerakkan kita. Dan muara cinta dalam rumah tanggalah tempat hati berlabuh memperbaharui energi. Cinta adalah energi yang senantiasa harus di charge.

Tapi cinta dan kasih sayang tidaklah hadir dengan sendirinya. Perlu kesungguhan usaha serta kerjasama untuk mengahdirkannya. Dari mana cinta bermula ? Tentu harus ada proaktif dan inisiatif dari masing-masing pihak, entah suami ataukah istri. jangan biarkan keluarga hambar tanpa cinta.

Dalam sebuah rumah tangga, cinta diwujudkan oleh masing-masing pihak kepada pihak lain. Dia adalah daya tarik yang merekatkan satu sama lain dan mengikatkannya. Cinta adalah perasaaan internal yang timbul dari anggapan baik terhadap sifat, watak dan akhlak pihak lain, satu kecondongan bersifat naluriah kepada dimensi kecantikan, kebersihan secara fisik dan etis terhadap partnernya.

Dalam sebuah ikatan pernikahan, kasih sayang ibarat garam untuk sayuran, air untuk tanaman, air aquarium bagi ikan, dan kalori untuk menggerakkan badan. Sebagaimana makanan yang tidak berasa tanpa garam, tiada kehidupan tanaman tanpa air, maka kehidupan rumah tangga tidak akan dapat dirasakan dan tidak ada jaminan akan langgeng dan lestari tanpa adanya kasih sayang.

Nilai kasih sayang akan terwujud saat terekspresi kepada pihak lain sehingga merasakan wujudnya dan selalu berupaya untuk mengembangkannya. Sebesar apapun cinta yang tersimpan dalam hati ketika pemiliknya tidak berusaha mengekspresikan, ia bagai bunga melati yang tidak lagi mewangi, sehingga menajdikan hubungan perkawinan sekedar hubungan formal yang kering, yang kehilangan kesegaran dan semangat hidup. Akibatnya, merebaklah kejenuhan di sekitarnya, berkecamuklah kegelisahan disekelilingnya.

Seorang wanita membutuhkan sesuatu yang dapat meringankan kepenatan tugas rumahtangganya. Pun seorang lelaki membutuhkan sesuatu yang dapat meringankan beban kerja dan tugas darinya. Mereka berdua membutuhkan sesuatu yang dapat meringankan kesedihan dan deritanya, sesuatu yang dapat meringankan tekanan beban tersebut, membutuhkan nuansa disana masih ada orang yang memberi perhatian dan memahami perasaannya.

Semoga cinta hadir dalam rumah tangga kita dan memberikan energi dahsyat untuk berkarya, berprestasi dihadapanNya..

ummu za

( Untuk sebuah rumah tangga yang merasa belum memiliki cinta : saudaraku, jangan pernah katakan lagi : " aku belum bisa mencintainya " . Sesungguhnya Allah sudah memberikan bibit cinta itu didalam hatimu untuknya..maka pupuk dan siramlah terus agar terwujud cinta itu...mulailah mencintainya secara bersahaja....)

February 14, 2009

[Urgent] Seruan Vatikan untuk Indonesia

INDONESIA Catholics Urged To Participate In Election As Voter Regristration Deadline Nears.


JAKARTA (UCAN) -- With the deadline for voter registration approaching, Jakarta archdiocese has issued a letter urging Catholics to participate in the upcoming general election.

The 2009 general election is near. Participating in this general election is our right and responsibility as citizens and our calling as the faithful," says the letter signed by Vicar General Father Yohanes Subagyo, highest archdiocesan official after the archbishop.

The archdiocese directed its 60 parishes to read out the letter, "Motivating Jakarta Archdiocese's Catholics to participate in the 2009 General Election," at weekend Masses on Sept. 13 and 14, and on Sept. 20 and 21. This is the first such letter the local Church has issued.

Sept. 26 is the last day eligible citizens can register to vote in the April 9, 2009, general election, for which the General Election Commission has approved 38 political parties, some of them religion-based. It also designated a nine-month campaign period that began on July 8.

"If we exercise our right to vote in this general election, we too will determine eligible leaders we can trust to govern for the next five years," the Church statement says. "But if we do not vote, we give an opportunity to certain parties we might not side with to take care of this state."

Church people say they fear activists from Islamist parties will try to prevent non-Muslim voters from casting ballots.

The letter informs Catholics they can register by sending a text message to a number provided by the local general election commission. It also tells them they can check if their names are on the voters' list by looking at their neighborhood community announcement board or checking with the local registration authority.

Parish priests and other Catholics who spoke with UCA News say they welcome the letter.

Father Kaitanus Saleky of Christ the Savior Church in Slipi, West Jakarta, said he had the letter read out in his church during Masses on the set days, and also would have it read out at neighborhood prayer meetings.

"I will keep telling my parishioners about this in my homilies. I am also planning to organize a seminar to inform parishioners about eligible candidates," the Immaculate Heart of Mary priest said. He suggested that Catholics get as much information as possible about all election candidates.

Father Petrus Mujiono from St. Stephen Church in Cilandak, South Jakarta, said he had the letter posted on his parish's website and announcement board, and in its bulletin.

The Sacred Heart priest asserted that "Catholics are obliged to choose candidates who truly fight for the common good." He added, "They should choose according to their conscience and never let candidates' promises influence them."

Natalis Situmorang, chairperson of Pemuda Katolik (Catholic youth), agreed. He pointed out that if Catholics do not vote, the Prosperous Justice Party might come to power in the Jakarta area. He acknowledged the party includes people who are not Muslims but said "many of its members support Shari'a (Islamic law)."

The organization plans a national meeting in mid-November to educate young Catholics on political matters. For this, he said, "we will work together with Catholic organizations such as Catholic Union of University Students of the Republic of Indonesia (PMKRI), Indonesian Catholic Society Forum, Catholic Solidarity for Democracy in Indonesia and Catholic Women of the Republic of Indonesia. Indonesian citizens are eligible to vote from the age of 17.

PMKRI chairperson Tommy Jematu asserted, "It is we who choose the leaders of this nation, leaders who should be committed to developing society." He too suggested the archdiocese inform Catholics about all candidates in the general election.

Meanwhile, Chris Siner Key Timu, a Catholic politician, told UCA News on Sept. 18 that while he welcomes the Church's letter, "it is the right of each Catholic to vote or not to vote."

-----------------------------------------------------------

tampak mereka suda mengidentifikasi lawan mereka, dan mereka bersatu padu menggalang kekuatan bersama untuk menghadang setiap gerak laju ummat Islam. Lalu, masihkah kita berpecahan?

Wahai penggalang kekuatan Ummat, bersatu-padulah ... genderang peperangan telah bertalu ...

------------------------------------------------------------
Wahai Jundullah.............!!!!

Saat genderang perjuangan bertalu
Musuh tegak dihadapan
Teguhkan hatimu usahlah kau ragu
Wahai orang-orang beriman
Berdzikirlah sebanyak engkau mampu
Agar kemenangan jadi milikmu

Taatilah Allah dan Rasul-Nya
Qiyadah penghulu perjuangan
Tetap bersabar dalam barisan
Buang segala ego nan hina

Hindarkanlah berbantahan
Yang 'kan membuat hatimu gentar
Dan menghilangkan kekuatan
Karna Jundullah… karna Jundullah
Pantang terpencar !!

Jangan silau dengan jumlahmu
Yang angkuhkan hatimu
Riya dihadapan manusia
Kau halangi insan di jalan-Nya
Riya dihadapan manusia
Padahal Allah tahu apa yang kau kerjakan !!

February 03, 2009

Kisah Seorang Guru dan Dua Orang Muridnya

Alkisah di sebuah pesantren di suatu negeri hidup seorang guru silat yang sangat bijak, dan sudah sangat tua. Ia mempunyai dua murid yang masing-masing memiliki tingkat ibadah, ketulusan, kejujuran, kesalehan, keseriusan, semangat, dan keuletan belajar silat yang sama. Untuk mewariskan pesantren dan perguruannya, ia harus memilih yang terbaik dari keduanya.

Pertandingan di antara mereka pun dilakukan. Namun, beberapa kali dilakukan pertandingan, musabaqah, adu kepandaian dan adu kekuatan selalu berakhir dengan seimbang. Mereka ternyata mampu menyerap ilmu yang sama dari sang guru. Selain itu, keduanya juga sering berlatih bersama-sama sehingga masing-masing sudah mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Untuk mengetahui mana di antara mereka yang lebih baik dan lebih cerdik, gurutersebut terpaksa menggunakan cara lain.

Suatu tengah malam seusai shalat, guru tersebut memanggil kedua muridnya dan memberi mereka tugas,"Besok pagi ba'da subuh kalian pergilah ke hutan mencari ranting pohon. Siapa yang pulang dengan hasil yang terbanyak, dialah yang keluar sebagai pemenang, dan berhak mewarisi pesantren dan perguruan ini" Sambil menarik napas panjang sang guru memperhatikan kedua muridnya yang sedang mendengarkan dengan serius kemudian ia melanjutkan, "Waktu yang tersedia untuk kalian adalah jam lima pagi sampai jam lima sore." Kemudian guru tersebut mengambil sesuatu dari bawah meja dan berkata,"Ini adalah dua bilah parang yang dapat kalian gunakan, ada pertanyaan?"

Karena merasa tugas yang diembankan kepada mereka mudah, mereka pun serempak menjawab,"Tidak.""Baiklah kalau begitu, sekarang, kalian cepatlah beristirahat dan besok bangun lebih pagi," Nasihat sang guru.

Mendapat tugas yang baru ini, di benak murid yang pertama langsung terbayang bahwa keesokan harinya ia harus bangun lebih awal, harus bekerja lebih keras dan lebih serius karena waktunya terbatas. Ia terlalu terfokus pada waktu, yakni harus berangkat jam5 tepat , tidak boleh kurang satu detik pun dan pulang jam 5 sore , tidak boleh lebih. Setelah yakin dengan waktunya, ia pun pergi tidur.

Dengan tugas yang sama, murid kedua lebih terfokus pada pekerjaan yang harus dilakukannya. Ia langsung memeriksa parang yang disediakan oleh gurunya, dan ternyata parang tersebut adalah parang tua yang sudah tumpul.

Maka, ia pun memutuskan, besok sebelum berangkat ia akan mencari batu asah untuk mengasah parangnya agar menjadi tajam dan siap digunakan. Dengan parang yang lebih tajam, hasil yang sama dapat diperoleh dengan upaya yang lebih sedikit, pikirnya.

Tantangan kedua yang terbayang di benaknya adalah bagaimana cara membawa ranting pohon lebih banyak secara efisien dan efektif ? Sementara temannya sudah tertidur lelap, ia bermunjat dan berdoa kepada Allah, meminta agar dimudahkan segala urusannya sambil memikirkan cara terbaik untuk membawa ranting dengan jumlah lebih banyak. Setelah berpikir cukup lama dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan, ia memutuskanuntuk menyiapkan tali pengikat dan tongkat pikulan sebelum berangkat keesokan harinya.

Dengan memikul ranting menggunakan tongkat pikulan. Paling tidak, ia bisa membawa dua ikat besar ranting-satu di depan dan satu lagi dibelakang , itu berarti dua kali lipat lebih banyak dibandingkan memanggulnya.Dengan perasaan puas, ia shalat malam lalu pergi tidur.

Keesokan harinya, murid pertama yang sudah berencana akan bekerja keras, bangun tepat waktu dan langsung berangkat ke hutan. Sementara itu, murid kedua masih asyik berdzikir dan membaca Al-Qur'an. Tepat jam enam pagi, murid kedua bergagas. Sesuai rencana, ia segera mencari batu asah dan mengasah parangnyasampai benar-benar tajam.Kemudian ia mencari tali dan tongkat pikulan. Setelahsemua perlengkapan siap, ia segera berangkat ke hutan, jam menunjukkan pukultujuh lebih.

Ketika jam menunjukkan pukul satu siang, murid kedua sudah berhasil mengumpulkan ranting cukup banyak. Ia segera mengikatnya menjadi dua dan memikulnya pulang. Sesampainya di pesantren, diserahkannya ranting-rantingtersebut kepada gurunya. Ia berhasil mendapat banyak ranting dan pulang lebih cepat.

Sementara itu, murid pertama, karena tidak mengasah parangnya, harus menggunakan waktu dan energi yang lebih besar untuk memotong ranting pohon.Dengan demikian ia juga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk beristirahat karena kelelahan. Belum waktu yang ia gunakan untuk mencari tali pengikat. Selain itu, dengan caranya membawa ranting kayu yang dipanggul di pundaknya, jumlah yang bisa dibawanya juga terbatas.

Hikmah :

  • Terkadang kita terbelenggu oleh kerutinan kerja sehari - hari, sehingga lupa " mengasah parang " yang berupa bermunajat dan meminta petunjuk kepada Allah, belajar , ikut pelatihan, training , mengadakan meeting, briefieng pagi dan lain - lain. Padahal kegiatan diatas yang menurut kita " buang waktu " tersebut justru merupakan sarana ampuh untuk meningkatkan dan mengembangkan Skill , Knowledge dan Attitude kita.
  • Pelatihan , tafakur, dzikir, pengajian, training , meeting , briefieng , pengarahan atau belajar pada dasarnya adalah bertujuan untuk " memudahkan " pekerjaan kita sehari - hari. Bukankah mengasah parang selama 3 menit sangat tidak berarti saat kita harus menebang pohon selama 3 jam . . . . . . . . . . . .
  • Oleh karenanya, minimal usahakanlah setiap pagi hari, membaca Al-Qur'an, berdzikir, membaca al-Ma'tsurat, dan juga berpositif thinking... Di samping diwaktu-waktu tertentu galilah potensi diri dengan mengikuti training, membaca buku motivasi, mengikuti seminar, milis yang bermanfaat, dsb... Mudah-mudahan kita semua dimudahkan Allah untuk menggapai hari esok yang lebih baik.

by : Rikza Maulan, Lc, M.Ag

Ketika Bergerak dengan Nurani...Menghadapi Kematian Hati

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.

Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.

Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gemetar saat dipuji orang. “Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka”, ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.
Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.

Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma’siat menggodamu dan engkau meni’matinya?

Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin engkau mulai berfikir “Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh” Betapa jamaknya ‘dosa kecil’ itu dalam hatimu.

Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat “TV Thaghut” menyiarkan segala “kesombongan jahiliyah dan maksiat”?

Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan ” Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?”
Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang “Ini tidak islami” berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?
Sekarang kau telah jadi kader hebat.
Tidak lagi malu-malu tampil.

Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa.

Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.

Siapa yang mau menghormati ummat yang “kiayi”nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan “Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku” dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang da’inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan “Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua” Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai ‘alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da’wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.
Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa “westernnya” . Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan “lihatlah, betapa Amerikanya aku”.
Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.
Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.

Kini datang “pemimpin” ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, “toko emas berjalan” dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. “Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku”

Hanya Allah yang mengetahu isi hati kita semua...