November 19, 2008

REFLEKSI SATU ABAD KEBANGKITAN NASIONAL

Hasyim: Kita Belum Siap Bangkit
NU Online - 27/05/2008


Kebangkitan Nasional Indonesia sudah berumur satu abad, sejauh manakah perjalanan yang sudah dicapai dari cita-cita yang diimpikan oleh para pendahulu bangsa melalui Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 lalu, Berikut wawancara NU Online dengan KH Hasyim Muzadi baru-baru ini tentang pandangannya mengenai masalah kesiapan bangsa untuk bangkit.

Bagaimana kita memaknai satu abad Kebangkitan Nasional?

Ada syarat dan kondisi tertentu bagi kita untuk bisa bangkit, yaitu kondisi politik ekonomi, hukum, budaya, pendidikan dan wawasan kebangsaan. Kalau itu tidak ada, kita tak bisa bangkit.

Kalau ingin orang betul-betul bangkit, harus ada konsepsi pre kondisioning untuk bangkit, antara lain masalah persatuan, ada apa tidak? O… sekarang ini orang pada egois karena faktor liberalisasi politik, menjadi perorangan, menonjolkan dirinya, bukan visi kebersamaan.

Mengenai wawasan kebangsaan, sekarang ini tidak jelas, platforma Pancasila dipinggirkan, UUD diganti. Kebangsaan juga tidak ada secara visioner, yang liberallah, yang sekulerlah, ini kambuh lagi.

Politik liberal pada tahun 1955-1959 terbukti tidak bisa mengatasi masalah kebangsaan. Yang bertumpu pada kekuasaan an sich, bukan efektifitas kekuasaan untuk bangsa dan produktifitas bangsa sehingga energi bangsa habis untuk mencari kekuasaan. Yang seharusnya mencari kekuasaan cukup sebagai dasar untuk efektifitas dan efisiensi.

Kualitas partai politik juga tak terjamin. Reformasi ini kan menggeser kekuasaan pada partai politik, dari ABRI, birokrasi dan Golkar. Partai politik tidak ada standarnya, maka tak ada standarisasi politisi dan negarawan.

Dalam kondisi ini berat untuk bangkit karena personel penyangga kebangkitan tak jelas klasifikasinya. Nah, untuk merapikan patai politik sangat sukar karena ini diatur oleh UU yang membuatnya juga partai politik.

Selanjutnya, sinergi antar lembaga juga tak ada, pemerintah dengan DPR, dan Kejagung, demikian pula koordinasi dari atas ke bawah. Ini menyebabkan tidak adanya unity of diversity, tetapi diversity of diversity.

Dalam keadaan seperti itu, mampukan kita bangkit? ini merembet ke masalah hukum, kalau politiknya liberal, maka hukumnya juga liberal yang artinya lebih dekat dengan kekuasaan dan modal daripada keadilan sehingga siapapun yang ingin menggunakan hukum ya harus bayar, sehingga kalau tak punya uang ya tak punya kemampuan membela. Mulai dari penyidikan, advokasi, pengadilan, penuntutan semuanya berbau uang. Bayangkan kalau orang kecil kena perkaran, mana mungkin dalam kondisi ini bangkit.

Sekarang ada liberalisasi, karena kita belum kuat, maka yang terjadi adalah ekspoitasi oleh orang asing, jadi kita itu menjadi lahan, pasar, bukan lahan produksi, ketika bangsa ini menjadi lahan pasar, tidak berproduksi, siapkah ia bangkit.

Pengangguran terjadi ketika orang-orang berfikir tentang kekuasaan melulu sehingga kebutuhan sehari-hari dia tidak konsen. Itu belum dari segi pendidikan, yang verbalistik, tidak esensial dan aplikatif, bisa apakah lulusan kita, wong insinyur pertanian tak pernah ke sawah, insinyur kehutanan tak ke hutan. Dengan demikian, tak ada aplikasi dari disiplin ilmu.

Dari sisi budaya kita sudah menjadi pasar, bukannya mengekspor. Maka hancurlah budaya lokal, kearifan lokal dan sebagainya.

Pemimpin dalam lingkungan yang kacau juga tidak efektif karena lingkungannya tak efektif, maka lebih enak ia asal jadi, daripada memperbaiki keadaan. Calon presiden umumnya ingin cari presiden, tidak ingin memperbaiki keadaan. Kalau mencaci maki keadaan, mereka umumnya juga hanya untuk menunjukkan orang yang akan diganti ini orang jelek. Dengan demikian, siapkah kita untuk bangkit, kita belum siap untuk bangkit, tetapi kita berusaha untuk bangkit.

100 tahun, ada visi kebangsaan Indonesia, pergulatannya bagaimana?

Bangsa ini maju mundur, kebangkitan sudah ada sebelum kemerdekaan. Inilah yang kemudian menghasilkan Indonesia. setelah kemerdekaan, disusunlah platform. Indnoesia baru bejalan 3 tahun sudah ada pemberontakan. Tahun 1949 ada maklumat wakil presiden bahwa semua golongan diharapkan membuat partai politik untuk mendukung Indonesia sehingga persatuan menjadi lumer. Tahun 1955 ada pemilu yang liberal, akhirnya tak mampu melahirkan pemerintahan yang efektif, dan mulai dipersoalkan lagi dasar negara, kemudian ada dekrit.

Setelah tahun 1959, Bung Karno memimpin sendiri, Pancasila yang dia buat sendiri kok ada revolusi, presiden seumur hidup, revolusioner dan kontra-revoluasioner. Ini kan tidak Pancasilais, karena itu ia dijatuhkan orde baru, dengan gaya memurnikan UUD dan Pancasila, tetapi sekedar tidak negera agama dan negara sekuler. tetapi nilai Pancasila itu sendiri lahir berwujud.

Pada masa orde baru, 15 tahun pertama stabilitas, 15 tahun kedua seharusnya kreatifitas. Pada masa stabilitas kan orang diculik, ditembak, dan sebagainya, kan tidak Pancasilais juga, sekalipun atas nama Pancasila.

Akhirnya terjadi reformasi yang semakin tidak jelas. Jadi kita, belum merupakan bangsa yang beruntung, bangsa yang dari episode ke episode selalu maju mundur. Dia mengoreksi satu epiode dengan mengambil yang lebih lalu lagi. Waktu pak Harto berkuasa dianggap gagal, lalu dibanti liberal, dia lupa ini sudah gagal tahun 1955.

Lha kalau ini nanti ada chaos, diktotor lagi yang mau dipakai. Kenapa 100 tahun selalu seperti ini, karena maju satu langkah, mundur satu langkah..

Konsep kebangsaan belum selesai?

Konsep sudah selesai, pelaksanaannya, Pancasila dengan segala ubo rempanye sudah ada, tetapi pelaksanaannya ini yang belum jalan. Kan namanya Ketuhanan yang Maha Esa, sekarang kok keuangan yang maha kuasa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, kok orang diculiki, ini bagaimana? Persatuan Indonesia, kok bentrok terus dan baker-bakaran gimana? Kerakyatan yang Dipimpin Hikmah dan Kebijaksanaan, keadilan sosial juga nga ada, sebagai simbol oke, sebagai aplikasi belum wujud. Karena aplikasi belum wujud, maka dijadikan alasan untuk menggantikan Pancasila itu, padahal yang salah bukan pancasilanya. (mkf)

No comments: